Pertempuran Rasa
Selesai perkuliahan terbiasa aku
duduk menyendiri di depan kelas sembari menghisap asap rokok. Kuliah hari ini
terasa membosankan sebab kembali lagi memberiku tugas yang sama sekali tidak
memberiku semangat.
Rantas menghubungiku melalui
salah satu aplikasi chatting. Lantas aku membuka gawai milikku “ Dimana?. Aku sedang bersama dua
orang temen cewekku nih. Pengen kenal dirimu ”.
Aku membalasnya dengan sedikit canggung “ Aku di depan kelas. Sini tapi
kalo aku engga pede jangan salahin aku yaa ”.
“ Oke otw. Santai ” Ujar Rantas.
Kali ini aku benar-benar merasa
terdesak. Untuk waktu yang lama aku tidak bersua dengan perempuan. Waktuku
banyak tersita dengan komunitasku. Namun dengan sisa-sisa perasaan was-was akan
perempuan aku mencoba untuk biasa saja. Dalam sesapan rokokku terakhir aku
membayangkan jikalau salah satu dari mereka tertarik pada buku maka aku akan
menjemputnya dan mengajaknya untuk menjadi bagian dari diriku.
Rantas lekas mendatangiku “ Kenalkan ini temenku namanya Reda ”.
Dua wanita yang sedang bersamanya
hanya menganggukan kepala sembari menawarkan telapak tangannya untuk saling
berjabat.
Aku juga memperkenalkan diriku “ Aku Reda ” satu persatu para wanita itu
memperkenalkan diri namanya Rena juga Ratih.
Sedikit banyak bercerita dan
berkenalan agaknya suasana terasa garing. Pada akhirnya Rantas mengajak kami
untuk bersendau gurau di depan kampus.
Rena
mencoba membuka pembicaraan kali ini “ Reda, kata rantas kamu pegiat literasi,
pecinta buku, sekaligus suka naik gunung?”.
Begitu mengagetkan wanita ini
rasaku “ Engga begitu
amat lah ya, haha. ”
“ beneran da, aku seriusan nih
tanyanya ” Sahut
Rena.
“ Iya Rena, aku juga engga pegiat
literasi sekelas nasional ato apa sih, cuman setingkat kampung, perihal buku
sejak kecil memang aku mencintainya mulai dari komik hadiah susu sampai
sekarang buku buku filsafat, nah yang kurang aku suka ketika aku dikatain
pendaki nih, sebenarnya aku digunung tuh engga mendaki melainkan melakukan
perjalanan spiritual ataupun mengadu berbagai masalah dengan semesta ” balasku.
Pada
pertemuan kali ini aku menyukainya sebab banyak pertanyaan padaku yang terujar.
Dari sekian pertemuan dengan para kembang kali ini salah satu yang berarti.
Tentang bumbu bumbu malu yang akhirnya mampu merekah menjadi tanya, tertuang
dalam cerita, dikemas bergambar suka cita. Tidakku merasa canggung, ternyata
suasana hari ini begitu segar dan cerah.
Rantas dan Ratih ku amati sibuk
dengan gawainya masing-masing. Aku bersama Rena terus melanjutkan bersendau
gurau yang pada akhirnya harus kami akhiri karena hanya kami berdua yang
ngobrol. Rena dan Ratih kembali ke kosnya masing-masing, Rantas pulang, dan aku berkelana
dengan roda dua bututku yang ku beri nama Bungah.
***
Jam
perkuliahanku kali ini kosong. Aku ngobrol santai didepan kelas bersama dua
sahabatku Rantas juga Ratih. Aku yang belum sepenuhnya Move on dari mantan pacarku yang dulu. Tertarik dengan cerita
Rantas yang akhir-akhir ini menceritakan salah seorang teman sekolahnya dulu
tentang hobinya membuat perpustakaan jalanan, banyak koleksi bukunya, serta
kegiatannya mengenai mendaki gunung.
“ Yaudah keluar yuk cari angin, mbuk menawa temenku longgar kita dapat
bersua ”. Ujar
Rantas menggebu-gebu.
“ Yuk, aku penasaran nih ”. Pun sahutku dengan semangat.
Ratih
hanya mengikutiku dengan Rantas tanpa mengemukakan ekspresi semangat ataupun
bersedih. Dengan semangat ku berjalan dengan cepat, barangkali sosok ini mampu menjadi
teman berceritaku ataupun teman berbagi kisah. Karena pada kisah-kisah
sebelumya yang berujung nihil serta benci, pada pertemuan kali ini aku harap
sebagai kekuatan nurani yang sempat bercekcok dengan sukma perihal kepercayaan.
Aku
melihat lelaki yang sedang bersantai menghisap kebulan asap rokoknya. Berdandan
ala-ala Rock ‘N Roll dengan kaos
kusut, celana bak sebulan belum pernah dicuci. Aku bertanya-tanya dari cerita
Rantas apakah benar ini orang ?.
Pada gumamku aku percaya saja.
“ Kenalkan ini temenku, namanya Reda ”, ya ternyata tebakku benar. Ia orangnya yang dimaksud
Rantas.
Aku pun memperkenalkan diriku “ Aku Rena ”. Serta Ratih yang disampingku “ Ratih namaku ”.
Reda pun dengan keramahannya
menebarkan senyum padaku dan
teman temanku. Aku
tertegun orang yang terlihat sangar ternyata begitu asyik dan santai. Ketika
aku bertanya padanya tentang kisahnya mengenai pendakian gunung Ia tersipu
malu, bahkan sampai sampai mengelak.
Karena aku sama Reda terlihat
begitu antusias ngobrol, Rantas dan Ratih sibuk dengan gawainya masing-masing.
Lantas mereka mengajakku balik ke kos dan aku harus menghakimi siang ini untuk
mengakhiri percakapanku dengan Reda.
***
Dalam
perjumpaanku beberapa waktu lalu dengan Rena aku masih terbayang bayang begitu
asyiknya dia ketika diajak bercerita. Aku teringat tentang pesan penerimaan
dari buku Kala dan Amorfati Bagaimana Saka dan Lara diceritakan begitu eksplisit dan sangat dalam.
Aku adalah waktu-waktu yang
kupertanyakan dulu untuk mencari ketepatan membenarkan pertemuan untuk memahami
waktu waktu yang sudah terlewat. Rena, perempuan itu menjadi tanda tanyaku tiap
kali aku memejamkan mata. Untuk pertemuan waktu itu apakah jawaban dari waktuku
yang menjadi tanya ?.
Kerapkali aku melamun
memikirkannya dikala aku bercakap-cakap dengan semesta, sembari mencumbuinya ku
berujar pertanyaan demi pertanyaan, semesta mendiamkanku seribu kata namun ku
menatapnya dalam. Ternyata semesta berpesan untukku
agar mencari-cari
keutuhan tentang cinta kasih dan kedamaian. Sungguh cara-cara yang tak ku tebak dan ku rasa.
Komentar
Posting Komentar